## Kasus Korupsi CPO: Wilmar Group Serahkan Jaminan Rp11,8 Triliun, Dugaan Suap Mengguncang Pengadilan
Kasus korupsi fasilitas ekspor Crude Palm Oil (CPO) yang melibatkan Wilmar Group kembali menjadi sorotan setelah Kejaksaan Agung (Kejagung) menyita aset perusahaan senilai Rp11,8 triliun. Penyitaan ini, yang dilakukan terhadap Wilmar Group dan lima anak perusahaannya (PT Multimas Nabati Asahan, PT Multimas Nabati Sulawesi, PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, dan PT Wilmar Nabati Indonesia), merupakan bagian dari proses pemeriksaan tingkat kasasi atas dugaan kerugian negara yang signifikan. Kejagung bahkan memamerkan sebagian dari uang sitaan, mencapai Rp2 triliun dalam pecahan Rp100.000, di sebuah konferensi pers pada Selasa, 17 Juni 2025. Wilmar International Limited, perusahaan induk Wilmar Group, dalam siaran persnya menyatakan uang tersebut merupakan jaminan pengembalian kerugian negara yang diduga terjadi antara Juli 2021 hingga Desember 2021.
Dakwaan jaksa menyebutkan lima anak perusahaan Wilmar Group memperoleh keuntungan tidak sah sebesar Rp1,6 triliun, merugikan keuangan negara dengan jumlah yang sama, dan menimbulkan kerugian sektor usaha dan rumah tangga mencapai Rp8,5 triliun. Ironisnya, pada 19 Maret 2025, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di PN Jakarta Pusat menjatuhkan vonis *ontslag van alle recht vervolging* (OVAR) kepada tiga terdakwa korporasi. Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Abdul Qohar, menjelaskan bahwa OVAR berarti perbuatan terdakwa terbukti, namun tidak dikategorikan sebagai tindak pidana.
Kasus ini semakin kompleks dengan terungkapnya dugaan praktik jual beli vonis. Kejagung menyelidiki dugaan suap senilai Rp60 miliar yang diterima Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta (saat masih menjabat Wakil Ketua PN Jakarta Pusat). Uang tersebut diduga diberikan oleh Head of Social Security Legal Wilmar Group, Muhammad Syafei, melalui perantara, untuk mempengaruhi majelis hakim agar menjatuhkan vonis OVAR kepada Wilmar Group, Musim Mas Group, dan Permata Hijau Group. Hal ini membuat mereka terbebas dari kewajiban membayar uang pengganti sekitar Rp17 triliun.
Muhammad Syafei, beserta dua pengacara korporasi, Ariyanto dan Marcella Santoso, telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap ini. Mereka diduga menyuap tiga hakim PN Jakarta Pusat (Djuyamto, Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtarom), serta mantan Ketua PN Jakarta Pusat, Muhammad Arif Nuryanta. Mantan panitera, Wahyu Gunawan, juga turut menjadi tersangka. PT Wilmar Nabati Indonesia menyatakan akan kooperatif dalam penyelidikan Kejagung terkait penetapan Syafei sebagai tersangka.
Di luar dugaan suap tersebut, kasus ini juga menyeret lima tersangka lainnya, termasuk eks Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Indra Sari Wisnu Wardhana, dan mantan Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia, Master Parulian Tumanggor. Tiga tersangka lainnya adalah Stanley MA, Pierre Togar Sitanggang, dan Lin Che Wei (Weibinanto Halimdjati). Lin Che Wei dan Indra Sari didakwa telah memberikan kemudahan ekspor kepada sejumlah eksportir, mengakibatkan kerugian negara Rp6 triliun dan kerugian perekonomian nasional Rp12,3 triliun. Kasus korupsi CPO ini, dengan berbagai intrik dan implikasi hukumnya yang kompleks, mengungkap sisi gelap praktik korporasi dan penegakan hukum di Indonesia.