Rencana Pembangunan Tanggul Laut Raksasa Pulau Jawa: Solusi Palsu atau Ancaman Baru?
Rencana Presiden Prabowo Subianto membangun tanggul laut raksasa (Giant Sea Wall/GSW) sepanjang 500 kilometer di pesisir utara Pulau Jawa, dari Banten hingga Gresik, menuai kontroversi. Proyek ambisius senilai US$80 miliar (sekitar Rp1.298 triliun) ini, yang diproyeksikan rampung dalam 15-20 tahun, dianggap oleh sejumlah aktivis lingkungan sebagai “solusi palsu” untuk mengatasi masalah banjir rob. Kekhawatiran ini bukan tanpa dasar, mengingat pengalaman pembangunan tanggul laut di Jakarta yang telah menimbulkan berbagai permasalahan.
Para kritikus, termasuk Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) dan Destructive Fishing Watch (DFW), mengungkapkan kecemasan terhadap dampak lingkungan dan ekonomi. Survei DFW menunjukkan 56,2% masyarakat menolak GSW karena khawatir akan hilangnya mata pencaharian, terutama bagi nelayan. Erwin Suryana dari KIARA bahkan menyebut GSW sebagai solusi palsu yang justru menciptakan masalah baru. Pembangunan tanggul, menurutnya, tidak menyelesaikan akar permasalahan yaitu penurunan permukaan tanah (land subsidence).
Pengalaman proyek National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) di Jakarta menjadi bukti nyata dampak negatif pembangunan tanggul. Nelayan kesulitan melaut karena jalur mereka terhalang, sementara hasil tangkapan menurun drastis akibat kerusakan terumbu karang yang disebabkan sedimentasi dari pengerukan. Kajian Kementerian Kelautan dan Perikanan pada 2016 memperkirakan kerugian nelayan akibat NCICD mencapai puluhan miliar rupiah per tahun. Ancaman serupa mengintai nelayan di sepanjang pesisir utara Jawa, dengan potensi kerugian yang jauh lebih besar. Kerusakan ekosistem laut juga berisiko mematikan sektor pariwisata di daerah tersebut, mengancam potensi wisata bahari seperti Karimun Jawa.
Tak hanya sektor perikanan dan pariwisata, ketahanan tanggul laut itu sendiri dipertanyakan. Pengalaman jebolnya tanggul di berbagai titik di Jakarta, yang justru memicu banjir, menjadi bukti nyata ketidakberhasilan proyek serupa dalam jangka panjang. Elisa Sutanudjaja dari Rujak Center for Urban Studies menegaskan bahwa tanpa mengatasi land subsidence, GSW hanya solusi sementara yang justru akan memperparah situasi. Ia menyebut GSW sebagai *maladaptive infrastructure*, merujuk pada laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) 2022. Penutupan teluk dan muara sungai akibat tanggul akan mempercepat sedimentasi dan memperlambat aliran sungai, meningkatkan risiko banjir yang lebih besar.
Pemerintah, melalui Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, berargumen bahwa GSW vital untuk melindungi 70 kawasan industri, lima kawasan ekonomi khusus, dan berbagai infrastruktur penting di Pantura yang menampung 50 juta penduduk. Namun, para pengamat menilai narasi ini menyesatkan. Penurunan tanah di Pantura diakui sebagai dampak dari aktivitas industri besar-besaran. Walhi pun mendesak pemerintah untuk mengevaluasi dan mencabut izin industri yang menjadi akar masalah. Peneliti Elisabeth Augustina Issantyarni menambahkan bahwa rasa aman yang ditawarkan GSW justru akan mendorong investasi di wilayah pesisir yang rawan, meningkatkan beban pada tanah aluvial yang lunak dan mempercepat penurunan permukaan tanah. Pada akhirnya, pembangunan GSW dianggap hanya menguntungkan segelintir pihak dan menciptakan siklus proyek baru yang mengabaikan kesejahteraan masyarakat pesisir. Proyek ini, menurut banyak pihak, lebih berfokus pada perlindungan investasi daripada perlindungan masyarakat.