Thailand Tegaskan Tolak Mediasi Internasional dalam Konflik Perbatasan Sengit dengan Kamboja
BANGKOK, KOMPAS.COM – Pemerintah Thailand dengan tegas menolak tawaran mediasi dari sejumlah negara untuk mengakhiri konflik bersenjata yang kini memanas di perbatasan dengan Kamboja. Bangkok bersikukuh bahwa penyelesaian hanya dapat dicapai melalui jalur bilateral, seraya menuntut Phnom Penh menghentikan agresi militer terlebih dahulu di wilayah perbatasan. Ketegangan kronis antara kedua negara Asia Tenggara ini telah memuncak menjadi pertempuran sengit sejak Kamis (24/7/2025), yang terus berlanjut hingga Jumat, merenggut setidaknya 16 nyawa dan menjadi yang terberat dalam lebih dari satu dekade terakhir.
Perang perbatasan Thailand-Kamboja ini menimbulkan korban signifikan, sebagian besar merupakan warga sipil Thailand. Apa yang awalnya merupakan bentrokan senjata ringan dengan cepat berubah menjadi tembakan artileri berat, mengindikasikan eskalasi yang mengkhawatirkan di area sengketa. Kedua negara saling menuduh sebagai pihak yang memulai konflik di lokasi perbatasan yang telah lama menjadi sumber ketegangan.
Di tengah peningkatan intensitas konflik ini, Thailand tetap bergeming pada pendiriannya. Tawaran bantuan mediasi dari kekuatan global seperti Amerika Serikat, China, serta Malaysia selaku Ketua ASEAN saat ini, ditolak mentah-mentah. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Thailand, Nikorndej Balankura, menegaskan dalam wawancara dengan Reuters pada Jumat (25/7/2025), “Saya rasa kita belum memerlukan mediasi dari negara ketiga.” Pernyataan ini menggarisbawahi keinginan kuat Thailand untuk menyelesaikan perselisihan ini tanpa campur tangan eksternal.
Thailand Menekankan Mekanisme Bilateral sebagai Solusi
Meskipun demikian, peran negara-negara tetangga dan organisasi regional tetap menjadi sorotan. Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim, mengungkapkan telah berdialog dengan para pemimpin kedua negara, mendesak mereka untuk menemukan solusi damai. Sebagai pemimpin ASEAN, Anwar menyatakan kesiapan untuk memfasilitasi jika dibutuhkan. Nikorndej Balankura menyambut baik potensi peran ASEAN, namun dengan syarat yang jelas: “Kalau keluarga ASEAN ingin memfasilitasi kembalinya negosiasi bilateral yang konstruktif, tentu itu akan disambut.”
“Kami tetap berpegang pada posisi bahwa mekanisme bilateral adalah jalan terbaik. Ini adalah konfrontasi antara dua negara,” kata Nikorndej. “Tapi pihak Kamboja harus menghentikan kekerasan terlebih dahulu di sepanjang perbatasan. Pintu kami tetap terbuka,” imbuhnya, menegaskan kembali prasyarat utama Bangkok untuk memulai pembicaraan damai.
Sementara itu, Pemerintah Kamboja belum memberikan tanggapan langsung atas pernyataan Thailand. Sehari sebelumnya, Perdana Menteri Hun Manet telah mengajukan permintaan mendesak kepada Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mengadakan pertemuan darurat membahas isu ini. Hun Manet mengecam keras apa yang disebutnya sebagai “agresi militer yang tidak diprovokasi dan telah direncanakan” oleh Thailand, menunjukkan pandangan yang kontras. Dewan Keamanan PBB sendiri dijadwalkan menggelar pertemuan tertutup pada Jumat untuk membahas perkembangan konflik perbatasan ini.
Akar Krisis Diplomatik yang Memicu Konflik
Konflik bersenjata yang pecah ini sejatinya merupakan puncak dari krisis diplomatik yang telah mendidih. Sebelum pertempuran pecah, Thailand telah memicu ketegangan dengan menarik duta besarnya dari Phnom Penh dan mengusir duta besar Kamboja dari Bangkok pada Rabu. Langkah drastis ini diambil menyusul insiden ledakan ranjau darat di wilayah perbatasan yang melukai beberapa tentara Thailand. Pihak berwenang Thailand menuduh ranjau tersebut baru dipasang oleh militer Kamboja, sebuah tuduhan serius yang segera dibantah oleh Phnom Penh sebagai tidak berdasar. Insiden ini memperparah hubungan bilateral yang sudah rapuh, akhirnya memicu eskalasi militer yang kini menjadi perhatian dunia internasional.