Tragedi Gunung Kuda: 21 Nyawa Melayang Akibat Kelalaian dalam Pertambangan Batu Alam Cirebon
Bencana longsor di tambang galian C Gunung Kuda, Cirebon, Jawa Barat, pada 30 Mei 2025, menelan 21 korban jiwa. Kejadian ini mengungkap dugaan kelalaian pemerintah dan lemahnya pengawasan terhadap aktivitas pertambangan yang telah berlangsung selama lebih dari 20 tahun di wilayah rawan longsor tersebut. Warga setempat, seperti Suhendar, warga Desa Cikalahang yang juga bekerja sebagai sopir truk tambang, membenarkan bahwa longsor bukanlah peristiwa pertama. Ia bahkan menyebut longsor serupa pernah terjadi pada Februari 2025, meskipun tanpa korban jiwa. Selain bahaya longsor, warga juga mengeluhkan polusi debu yang diakibatkan aktivitas pertambangan. Meski demikian, Suhendar menyatakan belum ada penolakan masif dari warga sekitar, selama upaya minimalisasi debu dilakukan.
Kesaksian Taryana, seorang pengemudi truk yang selamat dari longsor, menyiratkan betapa mengerikannya peristiwa tersebut. Ia terjebak selama 30 menit di dalam mobilnya yang tertimbun tanah dan batu, hanya bisa menghubungi rekan kerjanya melalui ponsel untuk meminta pertolongan. Kisah heroik penyelamatannya pun menjadi gambaran nyata bahaya yang mengintai para pekerja di tambang tersebut. Taryana mengingat lebih dari 20 orang berada di lokasi tambang saat longsor terjadi.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat, melalui Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral, Bambang Tirtoyuliono, mengakui telah mengeluarkan instruksi penghentian sementara operasi pertambangan pada Maret 2025 karena metode penambangan yang membahayakan dan struktur batuan yang rapuh. Namun, instruksi tersebut diabaikan. Pasca-longsor, izin PT Aka Azhariyah Group dan tiga perusahaan lainnya dicabut. Bambang mengakui aktivitas pertambangan sudah berlangsung lama, bahkan sebelum izin resmi diterbitkan pada 2015 untuk perusahaan milik Koperasi Pondok Pesantren Al Azhariyah, menyebut aktivitas sebelum 2015 sebagai kegiatan ilegal.
Siti Hannah, Manajer advokasi dan kampanye Walhi Jawa Barat, menyoroti lemahnya political will pemerintah dalam bertindak tegas. Ia menilai peringatan yang diberikan bukanlah solusi utama, dan mendesak adanya tindakan yang lebih keras terhadap perusahaan yang beroperasi di wilayah rawan bencana. Hannah juga mengkritik kelalaian pemerintah daerah yang sering beralasan kehilangan kewenangan dalam mengawasi perusahaan yang izinnya dikeluarkan pemerintah pusat. Ia menambahkan, ketergantungan daerah pada pemasukan dari sektor pertambangan juga menjadi faktor penyebab keengganan pemerintah bertindak tegas.
Investigasi Walhi Jabar menemukan bahwa longsor di Gunung Kuda bukanlah kejadian baru. Longsor juga pernah terjadi pada April 2015, walaupun tidak ada korban jiwa. Kajian risiko bencana menunjukkan kawasan Gunung Kuda memang rawan longsor, bahkan tanpa aktivitas pertambangan. Walhi Jabar juga menemukan ketidaklengkapan dokumen operasi perusahaan, termasuk Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) yang penting untuk aspek lingkungan dan keselamatan pertambangan, yang disebut tidak lengkap sejak 2024. Badan Geologi mengonfirmasi lokasi tambang berada di zona kerentanan gerakan tanah yang tinggi, yang dipengaruhi curah hujan tinggi, gempa bumi, dan kemiringan lereng, apalagi dengan adanya material timbunan. Dua orang telah ditetapkan sebagai tersangka atas tragedi ini: penanggung jawab operasi dan kepala teknik tambang.