Makan Malam Rahasia Trump-Netanyahu: Rencana Besar di Balik Perayaan “Kemenangan”
Pada Selasa, 8 Juli 2025, sebuah jamuan makan malam pribadi di Ruang Biru Gedung Putih menyatukan Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. Pertemuan yang oleh beberapa media disebut “jamuan makan malam menyenangkan,” dan oleh lainnya sebagai pertemuan mesra yang memuakkan, ternyata menyimpan rencana besar di balik perayaan “kemenangan” atas program nuklir Iran. Lebih dari sekadar bersulang, pertemuan ini menandai babak baru dalam dinamika Timur Tengah, yang dampaknya akan terasa jauh melampaui meja makan mewah di Gedung Putih.
Lima poin kunci yang terungkap dari pertemuan rahasia tersebut mengungkap rencana ambisius yang berpotensi mengubah peta politik kawasan:
Nasib Gaza di Tangan Washington? Perundingan gencatan senjata 60 hari antara Israel dan Hamas di Doha masih berlangsung. Namun, bocoran dari pertemuan Trump-Netanyahu mengindikasikan kesepakatan yang lebih radikal: relokasi seluruh warga Palestina dari Jalur Gaza. Netanyahu menyebut Gaza sebagai “penjara” dan mengusulkan “pilihan bebas” bagi penduduk sipil untuk meninggalkan wilayah tersebut. Trump, mengulangi visinya untuk mengubah Gaza menjadi “Riviera Timur Tengah,” mengisyaratkan kerja sama Amerika Serikat dengan negara-negara tetangga dalam proses pemindahan penduduk ini. Serangan mematikan di Beit Hanoun yang menewaskan lima tentara Israel mengingatkan akan kompleksitas rencana ini, dan menunjukkan perlawanan Palestina yang masih kuat.
Menlucuti Hizbullah: Tantangan di Perbatasan Lebanon. Salah satu agenda utama adalah isu Hizbullah di Lebanon. Amerika Serikat mengusulkan pelucutan senjata kelompok milisi yang didukung Iran ini, sebuah tuntutan yang didukung Israel di tengah meningkatnya ketegangan perbatasan. Hizbullah menolak keras usulan tersebut. Diskusi juga menyentuh stabilitas Lebanon, masa depan pasukan penjaga perdamaian PBB (UNIFIL), dan kemungkinan tekanan AS terhadap pemerintah Beirut. Israel berupaya menghindari perang dua front, namun tetap mempertahankan dominasi militernya di kawasan tersebut.
Suriah Pasca-Assad: Normalisasi Hubungan dengan Syarat. Trump dan Netanyahu membahas masa depan Suriah pasca-Bashar al-Assad. Trump memuji Presiden baru Suriah, Ahmed al-Sharaa, setelah pertemuan mereka, dan Amerika Serikat mencabut sanksi terhadap Damaskus. Israel dilaporkan telah memulai pembicaraan langsung dengan pejabat Suriah. Meskipun demikian, pendudukan Israel di wilayah Suriah tetap menjadi kendala. Penerimaan kembali Suriah ke komunitas internasional akan bergantung pada syarat-syarat yang ditetapkan oleh Israel dan Amerika Serikat. Langkah pencabutan sanksi Trump memicu ketegangan dengan Netanyahu, yang awalnya menginginkan sanksi tetap diberlakukan. Pembicaraan rahasia antara Israel dan Suriah untuk normalisasi hubungan juga berlangsung, dengan mediasi negara-negara regional.
Perayaan “Kemenangan” atas Iran: Suatu Narasi yang Terbatas. Trump dan Netanyahu merayakan “kemenangan” atas Iran, tanpa membahas dampak lebih luas, seperti potensi eskalasi konflik, ancaman balasan Iran, atau dugaan upaya Israel untuk mendorong perubahan rezim di Iran. Pernyataan mereka lebih menekankan pesan tegas kepada Teheran dan sekitarnya.
Nominasi Nobel Perdamaian untuk Trump: Sebuah Gerakan Strategis? Netanyahu menominasikan Trump untuk Hadiah Nobel Perdamaian, memuji perannya dalam Perjanjian Abraham dan upayanya mempromosikan perdamaian. Trump, yang telah lama mendambakan penghargaan tersebut, menyambut nominasi ini dengan antusias. Netanyahu khususnya memuji otorisasi serangan udara AS terhadap fasilitas nuklir Iran yang dianggap mengakhiri konflik 12 hari antara Israel dan Iran.
Pilihan Editor: Inggris mengancam sanksi tambahan ke Israel jika gencatan senjata Gaza tidak tercapai.