Dalam tiga tahun terakhir, lebih dari 4.000 gerai makanan dan minuman atau food and beverages (F&B) asal China membanjiri Indonesia dan Vietnam. Pengamat dan pebisnis lokal memperingatkan dampak buruk fenomena ini bagi perekonomian Indonesia.
“Lihat ruko kosong dikit, besoknya langsung jadi Mixue.”
Candaan semacam itu berseliweran di jagat maya dalam beberapa tahun belakangan karena pembangunan gerai es krim dan minuman asal China tersebut begitu masif di Indonesia.
Tak hanya Mixue, berbagai gerai F&B asal China lainnya juga membanjiri Indonesia beberapa tahun ini, mulai dari Tomoro Coffee, Chagee, hingga Haidi Lao.
Di berbagai sudut Jabodetabek, UMKM lokal harus berupaya keras bersaing dengan gerai-gerai F&B China ini.
Menurut penelitian lembaga riset asal Singapura, Momentum Works, yang dirilis pada Januari lalu, F&B China memang melakukan ekspansi besar-besaran ke wilayah Asia Tenggara.
Dalam tiga tahun sejak 2022 hingga 2025, lebih dari 6.100 gerai F&B China membanjiri Asia Tenggara.
Penelitian itu tak menjabarkan secara detail jumlah gerai di masing-masing negara. Namun dua pertiganya, atau sekitar 4.000-an gerai, tersebar di Indonesia dan Vietnam.
Mengapa mereka ekspansi besar-besaran ke Indonesia? Apa yang membuat bisnis mereka bisa masuk secara masif? Lantas, apa dampaknya terhadap pengusaha lokal dan perekonomian Indonesia?
UMKM lokal mati dihajar pandemi, gerai F&B China malah ekspansi
Susanty Widjaja bingung. Saat bisnis restorannya dan pelaku UMKM lain terpaksa tutup di 2022 akibat dihantam pandemi Covid-19, gerai F&B China justru membanjiri Indonesia.
Sebagai pelaku UMKM di bidang kuliner, Susanty harus menutup puluhan gerai restoran bakmi miliknya di beberapa daerah di Indonesia selama pandemi.
“UMKM pada mati, tapi F&B China malah ekspansi, dan brand dari China ini enggak main-main. Mereka masif masuk ke negara kita,” ujar Susanty kepada BBC News Indonesia.
“Kita sebagai pelaku usaha, khususnya untuk pelaku usaha UMKM, tentunya khawatir.”
Pengamat ekonomi dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, memaklumi kekhawatiran pelaku UMKM ini.
Masalahnya, F&B China yang membanjiri Indonesia belakangan ini bentuknya kecil, menyerupai UMKM, berbeda dari rantai restoran dari Amerika Serikat dan negara-negara lainnya, seperti McDonald’s atau KFC.
Menurut Bhima, model bisnis kebanyakan F&B China dan rantai restoran dari negara lainnya sebenarnya sama, yaitu franchise atau waralaba.
Namun, pemegang lisensi waralaba restoran “Barat” di Indonesia biasanya perusahaan milik konglomerat besar dari dalam negeri. Misalnya, lisensi waralaba Starbucks dipegang oleh PT Mitra Adiperkasa (MAP).
Model bisnis mereka pun lebih eksklusif, dengan target pasar kelas menengah ke atas, kata Bhima.
Sementara lisensi F&B asal China, menurut Bhima, biasanya dipegang perusahaan kecil dengan model waralaba yang lebih sederhana. Target pasar mereka pun kelas menengah ke bawah.
“Bentuk bisnis ini tentu mengancam keberadaan UMKM,” kata Bhima.
Saat F&B China mulai membanjiri Indonesia, UMKM sektor makanan dan minuman (mamin) lokal sedang terpukul akibat pandemi Covid-19.
Pada 2019, sebelum pandemi melanda, jumlah UMKM mamin mencapai 3,9 juta, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS).
Namun, data BPS pada 2020 menunjukkan jumlah UMKM mamin merosot hingga 1,51 juta.
Setelah itu, UMKM mamin memang mulai merangkak, tapi jumlahnya baru mencapai 1,9 juta pada 2024, belum menyentuh angka sebelum pandemi.
Sama seperti di Indonesia, industri mamin di China juga ternyata terseok-seok karena persaingan yang begitu ketat di dalam negeri.
Mereka memperebutkan pasar di tengah masyarakat yang daya belinya belum pulih setelah pandemi.
Akibat persaingan ini, lebih dari satu juta gerai restoran di China tutup, sebagaimana dilaporkan Nikkei Asia.
Menurut penelitian Momentum Works, banyak rantai F&B China lantas memutuskan untuk ekspansi ke Asia Tenggara karena faktor kedekatan, baik secara jarak maupun kultural.
Selain itu, lanskap di Asia Tenggara juga “tidak terlalu kompetitif” sehingga bisnis F&B China bisa berkembang pesat dalam waktu cepat.
Dari keseluruhan negara Asia Tenggara, Indonesia dan Vietnam menjadi tujuan utama F&B China tersebut, dengan lebih dari 4.000 gerai dibuka dalam tiga tahun.
Mengapa F&B China bisa kuat di Indonesia?
Susanty langsung berapi-api ketika mengeluhkan berbagai kondisi di Indonesia yang membuat F&B China bisa berkembang pesat. Dia bilang alasan utamanya adalah kemudahan perizinan dari pemerintah.
Sebagai Ketua Asosiasi Lisensi Indonesia (ASENSI), Susanty kerap melakukan studi banding ke luar negeri. Menurut pengamatannya, pemberian lisensi dagang di Singapura dan Thailand jauh lebih ketat ketimbang di Indonesia.
“Mereka tentu ada pembatasan kalau saya lihat, sedangkan di negara kita memang belum terlalu ada pembatasan,” ujar Susanty kepada BBC News Indonesia.
Pengamat ekonomi dari Centre for Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, juga menganggap pemerintah membuka pintu terlalu lebar bagi pebisnis asing, apalagi setelah Undang-Undang Cipta Kerja disahkan pada 2020.
Menurut Bhima, perizinan bisnis di Indonesia secara keseluruhan sebenarnya masih rumit. Namun, menurutnya, “perizinan di sektor F&B lebih longgar” ketimbang sektor-sektor usaha lainnya.
Selain itu, masalah sertifikasi di Indonesia juga jauh lebih mudah ketimbang negara-negara tetangga, kata Bhima.
Bhima menjabarkan bahwa untuk bisa berjualan di Indonesia, F&B lokal dan asing harus mengantongi sertifikat dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan sertifikat halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).
“Berlapis memang, tapi tidak terlalu rumit dibandingkan negara-negara lainnya yang sertifikasi kesehatannya saja bisa berlapis, dan biayanya jadi lebih mahal,” ucap Bhima.
Tak hanya itu, biaya operasional F&B di Indonesia juga lebih rendah ketimbang beberapa negara ASEAN lainnya, menurut penelitian Momentum Works.
Ambil contoh biaya penyewaan tempat. Di Singapura, biaya sewa tempat rata-rata US$20 (setara Rp330.000) per meter persegi, sementara rata-rata di Indonesia hanya US$4,92 (sekitar Rp81.200) per meter persegi.
Tarif listrik di Indonesia juga terbilang tak setinggi negara-negara tetangga. Di Filipina, biaya listrik mencapai US$0,23 (setara Rp3.795) per kilowatt-jam, sementara di Indonesia hanya US$0,07 (setara Rp1.155) per kWh.
Selain itu, kelas menengah di Indonesia juga menjadi salah satu daya tarik bagi investor asing di bidang mamin.
Menurut data BPS, jumlah kelas menengah di Indonesia memang merosot dari 57,33 juta pada 2019 menjadi 47,85 juta pada 2024.
Namun, secara kuantitas, angka ini masih jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan jumlah kelas menengah di negara-negara tetangga.
“Kelas menengah itu kalau punya uang lebih, akan jajan di luar rumah. Inilah sasaran empuk pebisnis F&B asing,” kata Bhima.
“Jumlah kelas menengah yang banyak ini seharusnya bisa jadi peluang untuk UMKM lokal, tapi tampaknya sekarang malah UMKM lokal bakal tergerus gelombang F&B asing, terutama dari China.”
‘UMKM Indonesia bisa mati diterkam F&B China’
Amelia kaget ketika iseng melakukan napak tilas di sekitar kampusnya dulu di bilangan Kebon Jeruk, Jakarta Barat.
Sampai Amelia lulus pada 2017, daerah sekitar kampusnya disesaki kehadiran UMKM makanan dan minuman lokal. Namun kini, berbagai merek F&B China bertebaran di sepanjang jalan.
“Sedih, sih. Dulu ada tempat-tempat jajan langganan, sekarang udah jadi Bing Chun, Mixue, segala macam,” katanya, merujuk pada dua nama gerai F&B dari China.
Amelia kian kaget ketika membuka aplikasi Google Maps, ternyata ada lebih dari lima gerai Mixue di radius satu kilometer dari kampusnya.
“Gila, sih. Merek lokal itu udah dikit, kayak dikepung [F&B China] gitu,” tutur Amelia.
Pemandangan serupa terlihat di salah satu jalan di kawasan Bekasi Barat, Jawa Barat. Sebelum pandemi, jalan itu dipenuhi kios-kios jajanan lokal, mulai dari es pisang ijo sampai martabak.
Namun kini, gerai-gerai itu berganti dengan Tomoro Coffee dan Mixue.
Susanty mengatakan situasi serupa juga ditemukan di daerah lainnya di luar Jabodetabek.
Ia mengaku khawatir sektor UMKM mamin di Indonesia tak bisa lagi bangkit hingga mencapai titik sebelum pandemi, apalagi dengan kehadiran F&B China yang begitu masif.
“Kalau ngomongin usaha kecil, kalau mereka tidak bisa bersaing, pasti kalah bersaing, dan lambat laun pasti mati diterkam F&B China” tuturnya.
“Masalahnya, dari sisi branding mereka kuat, modalnya besar, kemudian rantai pasok mereka yang masuk itu secara masif pula.”
Bhima mengaku sudah melihat gejala itu belakangan ini. Menurutnya, persaingan harga di lapangan saat ini sudah tidak sehat.
Berdasarkan pengamatanya, F&B dari China saat ini mematok harga sangat rendah.
“Kenapa bisa murah? Karena mereka mengimpor bahan baku dari pabrik di China yang rantai pasoknya sangat efisien. Biaya produksinya sampai ke tangan konsumen pun jadi lebih murah,” katanya.
Selain itu, bahan baku yang diimpor dari China juga bisa lebih murah karena saat ini sedang ada fenomena kelebihan suplai di Negeri Tirai Bambu, kata Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE), Mohammad Faisal.
“Oversupply itu karena demand domestiknya lemah karena daya beli masyarakatnya rendah. Kalau ada kelebihan suplai, berdasarkan hukum ekonomi pasti harganya jadi rendah,” tutur Faisal.
Tak hanya itu, Bhima mengatakan bahwa dengan modal yang besar, F&B dari China juga bisa memberikan diskon besar-besaran. Alhasil, harganya jauh lebih rendah ketimbang harga pasar.
“Sedangkan pengusaha lokal dengan bahan baku yang hampir sama, dengan biaya operasional yang mereka hadapi, mereka menjualnya bisa dua kali lipat lebih mahal,” ucap Bhima.
Agar bisa bersaing dengan F&B China, UMKM lokal harus putar otak untuk mengurangi biaya produksi, sekaligus memberikan diskon kepada pelanggan.
Tak hanya itu, pelaku UMKM lokal juga harus melawan branding F&B China yang begitu kuat karena modalnya yang juga besar, kata Susanty.
Ia mengambil contoh Chagee, brand teh asal China yang menjamur di Indonesia belakangan ini.
“Toko-tokonya itu cantik. Gelasnya juga cantik. Itu akhirnya sering di-upload di medsos sama anak-anak muda,” kata Susanty.
“Kelas menengah itu kan suka FOMO [fear of missing out/takut ketinggalan tren]. Akhirnya, kalau disodorin brand lokal, mereka mungkin akan lebih pilih merek China, biar enggak ketinggalan tren.”
Tia, seorang mahasiswi di Kebon Jeruk, juga mengaku lebih memilih Mixue ketimbang Momoyo, salah satu kedai es krim dan minuman lokal, padahal jarak kedua gerai itu tak sampai 500 meter.
“Harga sebenarnya sama, tapi Mixue lebih terkenal aja,” katanya.
Jarak antargerai yang begitu dekat seperti ini, kata Bhima, memang dapat memicu persaingan tidak sehat. Ia pun mendesak pemerintah untuk mengatur pembatasan jarak ini.
“Misalnya, jaraknya dengan pelaku usaha lokal yang sejenis enggak boleh kurang dari 300 atau 500 meter. Itu salah satu cara menjaga, jangan sampai konsumennya itu-itu aja, tapi saling berebut kue yang sama,” katanya.
Lebih jauh, Susanty juga mengeluhkan posisi UMKM yang menurutnya selalu ditempatkan di belakang satu tempat perbelanjaan, sementara F&B asing biasanya dipampang di depan.
“Seharusnya bisa ada pembatasan supaya enggak semua F&B asing di depan. Kalau mereka diberikan tempat yang jauh lebih strategis dibandingkan dengan pengusaha lokal dan pengusaha UMKM, tentunya itu akan menambah branding mereka lebih kelihatan,” ucapnya.
Pemerintah sendiri sudah beberapa kali membahas mengenai persaingan lokasi gerai lokal dan asing ini.
Pada 2024 lalu, misalnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mendorong pelaku usaha ritel untuk memberikan tempat strategis untuk UMKM.
“Saya minta untuk mengingat UMKM. UMKM penting untuk mendapatkan tempat karena untuk produk, positioning itu penting,” tutur Airlangga.
Namun, kata Susanty, pernyataan itu sekadar dorongan, tak disertai dengan regulasi atau imbauan resmi.
BBC News Indonesia sudah meminta tanggapan Kemenko Perekonomian, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Perdagangan mengenai desakan-desakan ini, tapi belum mendapatkan jawaban.
Susanty pun hanya bisa mengajak pemerintah duduk bersama untuk memperkuat posisi UMKM Indonesia di tengah gempuran F&B China.
“Kalau tidak, UMKM bisa mati. Bahaya itu,” katanya.
Apa bahaya jika F&B asing mendominasi?
Susanty, Bhima, dan Faisal satu suara ketika menyatakan bahwa situasi akan berbahaya jika UMKM mati, sementara F&B asing merajai Indonesia.
Bhima menjelaskan bahwa keberadaan UMKM sangat penting untuk menghidupi masyarakat secara langsung. Menurutnya, uang dari hasil UMKM akan berputar di wilayah sekitar.
“Pendapatnya diputar lagi untuk belanja bahan baku, menghidupi keluarga-keluarga yang ada di sekitar wilayah lokal,” kata Bhima.
Faisal sepakat. Menurutnya, ketika bicara soal UMKM, orang kerap lupa bahwa pelaku usaha itu juga warga Indonesia yang pada akhirnya akan menjadi konsumen dan menggerakkan perekonomian.
“Kalau mereka susah, tentu konsumsi mereka berkurang,” ucap Faisal.
Ia kemudian menegaskan bahwa tingkat konsumsi yang rendah saat ini terjadi salah satunya karena pemerintah tak merespons keluhan-keluhan pelaku UMKM sebelumnya.
“Komplain-komplain dari pelaku industri tak direspons baik, koordinasi juga kurang, kemudian logistik kita yang masih mahal, kemudian ekosistem juga tidak terbentuk dengan baik,” tuturnya.
“Itu secara akumulatif akhirnya mengurangi potensi untuk penciptaan lapangan pekerjaan dan peningkatan income masyarakat.”
Berbeda dengan uang hasil UMKM yang akan berputar di masyarakat, kata Bhima, pendapatan F&B China bakal langsung ditransfer ke negara asal.
“Itu punya implikasi besar terhadap devisa [negara] dan stabilitas nilai tukar [rupiah] dalam jangka panjang. Jadi UMKM mati, nilai tukar rupiah terancam,” ucapnya.
Bhima mengakui F&B China yang membanjiri Indonesia saat ini memang menyerap banyak tenaga kerja.
Namun, ia menggarisbawahi sejumlah hal yang harus diperhatikan ketika seseorang bekerja di gerai F&B asing, terutama dari China.
“Tipikal perusahaan China, tidak hanya di F&B, itu harus dipertanyakan, apakah pekerjanya berserikat? Kalau mereka tidak berserikat, susah untuk menyampaikan aspirasi,” tutur Bhima.
Dalam beberapa grup Facebook tempat karyawan berkeluh kesah, memang terlihat sejumlah pekerja di F&B China mengeluhkan gaji yang belum menyentuh UMR, walau banyak dari mereka masih bersyukur karena dapat bekerja.
Bhima juga memperingatkan bahwa bisnis F&B umurnya tak sepanjang sektor lain karena semuanya tergantung tren. Ketika sesuatu sangat mengikuti tren, kata Bhima, pasti akan ada titik jenuh.
“Seperti Mixue itu sekarang sudah sepi pembeli. Kalau nanti mereka tutup, karyawannya mau ke mana? Pebisnisnya pasti beralih ke bisnis F&B lain, lalu cari karyawan baru,” ucap Bhima.
“Jadi, bisnis ini tidak sustain, dan penyerapan karyawannya juga tidak sustain.”
Melihat begitu kompleks dampak yang ditimbulkan, Susanty dan Bhima mendesak pemerintah untuk melakukan pembatasan gerai F&B asing, terutama dari China.
BBC News Indonesia sudah meminta tanggapan Kemendag dan Kemenperin mengenai desakan ini, tapi belum ada respons.
Selain mendorong pembatasan gerai asing, Faisal juga mendesak pemerintah untuk memperkuat daya saing UMKM lokal dengan berbagai cara, salah satunya membuat rantai pasok bahan baku lebih efisien.
“Misalnya, kalau untuk UMKM kopi, rantai pasok kopi lokal di berbagai daerah itu diperkuat, bagaimana caranya juga biar produktivitas di lahan perkebunannya meningkat,” kata Faisal.
Ketika rantai pasok sudah efisien, ucap Faisal, produk akhirnya tentu akan jauh lebih murah.
Lebih jauh, Susanty juga mendesak pemerintah untuk memberikan dukungan lebih kepada pelaku UMKM agar bisa punya daya saing, baik di dalam maupun di luar negeri.
Susanty menyoroti bahwa saat ini, China dan sejumlah negara lainnya bahkan memberikan insentif agar pebisnis mereka bisa ekspansi ke luar negeri.
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto sendiri mengatakan pemerintah sudah berupaya mendorong pertumbuhan UMKM dengan berbagai kebijakan, termasuk insentif pajak.
“Saat ini, UMKM yang melakukan ekspor mendapatkan fasilitas bea cukai berupa kemudahan impor untuk tujuan ekspor. Selain itu, PPN dan PPN impor untuk bahan baku yang digunakan dalam produk ekspor juga dinolkan,” ujar Airlangga.
Namun menurut Susanty, insentif ini belum terlalu detail ketimbang kebijakan-kebijakan pemerintah negara lain.
Ia pun mendorong pemerintah agar mau duduk bersama para pelaku UMKM untuk menentukan arah kebijakan yang lebih baik.
“Harus mendetail, jadi harus duduk bareng. Kita tentu ingin merajai pasar global, tapi bagaimana kalau kita saja belum menjadi raja di negara sendiri?” katanya.
“Kita ingin jadi raja di tanah sendiri aja dulu.”
Baca juga:
- Baju buatan China membanjiri Indonesia di tengah perang tarif AS-China – ‘Kami cemas, sektor tekstil sangat rentan’
- Produk China membanjiri Indonesia, puluhan pabrik tekstil tutup dan badai PHK – ‘Kondisi industri tekstil sudah darurat’
- China bersiap pindahkan pabrik-pabrik ke Asia Tenggara demi hindari tarif AS, Indonesia jadi tujuan?
Baca juga:
- Kesaksian para pengusaha UMKM China yang terdampak tarif Trump – ‘Kami benar-benar kewalahan’
- Akankah ‘serangan pesona’ China mengubah peta Asia Tenggara dan bagaimana posisi Indonesia?
- China peringatkan negara yang negosiasi tarif dengan AS, apa kata pemerintah Indonesia?
Baca juga:
- China bantu Prabowo ongkosi makan bergizi gratis, tapi ‘tidak ada makan siang gratis’ – Apa ‘timbal balik’ yang diminta China?
- ‘Operasi senyap’ di balik pemulangan lebih dari 500 WNI terduga korban penipuan online di Myanmar
- Setumpuk masalah di balik investasi China – ‘Demam nikel membuat pemerintah kehilangan akal sehat’